Rabu, 16 Maret 2011

Tecnopreneurship


Kisah Seorang Pengusaha

Di sebuah desa kecamatan di wilayah kota Tegal Jawa Tengah, ada seorang anak bernama Sholeh. Ia lulusan STM bangunan. Sejak ia berusia 14 tahun, ia bercita – cita ingin meniti karir menjadi seorang pengusaha. Sehingga ia berinisiatif untuk membuka usaha burger, dan iapun mengawali bisnisnya di ibu kota.
Hanya dengan satu grobag, setiap pagi hingga menjelang petang, ia berkeliling. Tanpa mengenal lelah, rumah demi rumah ia hampiri untuk mengantarkan pesanan pembeli. Waktupun kian berlalu, tahun demi tahun ia geluti bersama grobag burgernya. Pelangganpun mulai bertambah, hingga kini, ia memiliki 2 pabrik dan 10 outlet Burger yang tersebar di kota Jakarta dan sekitarnya. Segalanya tentu tak mudah diraih. Kerasnya Ibu kota tak menjadi halangan bagi Sholeh.

Berikut Cerita Dari Sholeh :

Di rumah mungilnya, kini belasan pegawai berkaus merah kuning terlihat sibuk. Roti, daging, sosis, hingga botol-botol saus disusun rapi dalam wadah-wadah plastik siap edar.
Pembawaannya yang sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum hangat, ia pun memperkenalkan diri. “Aduh maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi, hanya pakai oblong dan celana pendek,” tutur Sholeh. Beberapa saat kemudian, Sholeh bercerita.
Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang punya banyak pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi saya hanya tak mau dicap sombong. Saya mengawali semua usaha ini dengan niat sederhana: bertahan hidup. Makanya, sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang sederhana. Sesederhana masa kecil saya di Tegal.
Orang tua memberi saya nama Sholeh. Saya lahir pada 12 April 1956 sebagai anak keempat dari 6 bersaudara. Sejak kecil, saya terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula saya sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, ya saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya potong-potong, lalu dijual ke pasar.
Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru. Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau sudah cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10 tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk saya olah sendiri.
Begitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975. Bosan di Tegal, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.
Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang kembalian.
Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan.
Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu, saya menikah dengan perempuan sedaerah, Ulfiah. Oleh karena cinta kami bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu saya bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun 1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. Saya harus menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.

Titik cerah muncul di tahun 1990. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam ke teman untuk membeli sebuah gerobak dan kompor.
Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, saya menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger dagangannya saya labeli Sholeh, sesuai nama saya.
Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya tak bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga gara-gara hujan, saya nyaris disambar petir. Ketika itu saya tengah memetik selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir besar. Saya jatuh telungkup hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.
Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah.
Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 10 buah. Saya pun pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.
Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu bergulat di dapur, hasilnya tak mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji.
Ya alhamdililah, hingga kini usaha saya terus berjalan.

Kesimpulan

·         Setiap orang mempunyai impian untuk sukses, untuk mencapai kesuksesan perlu banyak usaha yang harus di tempuh, dan bagaimana orang itu menyikapi cobaan yang di hadapi nantinya.
·         Jangan pernah merasa puas dengan apa yang sudah di raih hari ini.
·         Terus belajar dari kesalahan masa lalu.
·         lalu.


Kisah Seorang Karyawan

      Ada sebuah crita tentang seorang pelajar di sebuah desa kecamatan di kota Tegal, yang bernama Agus, yang memiliki cita-cita sebagai pegawai pemerintah. Demi mewujudkan cita-citanya, dia berangkat ke ibu kota untuk menempuh ujian negara.
      Di sela perjalanan yang jauh dan melelahkan, Agus berhenti sejenak melepas lelah. Tak lama ia pun terbawa dalam lamunan. Muncul perasaan was-was terhadap kemampuan dirinya dan sesaat kemudian dia membayangkan seandainya bisa diterima sebagai pegawai pemerintah. Di tengah asyiknya melamun, tiba-tiba seorang kakek berdiri di hadapannya menyapa: “Hai anak muda, engkau tampak bukan orang dari sini. Hendak ke mana?”
      “Saya hendak ke ibu kota Kek, mengikuti ujian negara.”
     “Kakek perhatikan dari tadi, apa yang sedang kamu lamunkan?”


      Mereka pun terlibatpembicaraan seru.
      Setelah bertukar pikiran, tiba-tiba sang kakek mengeluarkan suatu benda dari sakunya. Lalu, iamemberikannya kepada Agus sambil berkata, “Mungkin ini yang kau perlukan, Nak!”
     “Sebuah gasing? Bagaimana sebuah gasing dapat mewujudkan cita-cita saya, Kek?” tanya Agus keheranan.
     Sang kakek menjawab, “Nak, ini adalah gasing waktu. Jika kamu memutar gasing ini ke kanan, maka kamu akan sampai pada saat dan keadaan yang seperti kamu inginkan.” Setelah Agus menerima gasing,si kakek pun berlalu pergi.
      Merasa aneh, Agus segera mencoba kebenaran ucapan sang kakek. Sambil membayangkan keberhasilan dirinya lulus ujian negara, ia memutar gasing ke kanan. Dan tiba-tiba, Agus mendapati dirinya berada di depan papan pengumuman ujian negara dan namanya tercantum pada pengumuman kelulusan. Ia sangat gembira. Namun kegembiraannya tidaklah bertahan lama. Muncul perasaan tidak sabar untuk segera bisa bekerja di pemerintahan. Maka ia pun kembali memutar gasingnya ke kanan dan dalam sekejap Agus sudah berada pada pekerjaannya di kantor pemerintahan.
      Kenikmatan sebagai pegawai pemerintahan juga tidak bertahan lama. Timbul keinginan yang lebih, yaitu sebagai pejabat tinggi pemerintah. Maka segera dia pun kembali memutar gasingnya. Dan pada saat itu juga ia berada pada posisi yang diinginkannya.Kini, ia memutar gasing untuk mempercepat waktu dan menghindari kesulitan dalam mencapai cita-cita telah menjadi kebiasaan Agus
      Secepat gasing berputar, Agus pun berubah menjadi tua dan menjelang ajal. Ada penyesalan dalam  dirinya, “Betapa singkat dan hambarnya kehidupanku! Alangkah baiknya jika putaran gasing ini dapat mengembalikan aku pada masa lalu..”
      Dalam kondisi putus asa Agus memutar gasing ke arah yang berlawanan yaitu ke arah kiri. Dan tiba-tiba dia pun terbangun dari tidurnya! Eh, ternyata peristiwa semua tadi hanya mimpi belaka.
      Sejenak, Agus merasa senang dan bersyukur bahwa semua itu cuma mimpi. Dia pun berjanji pada dirinya  sendiri, akan tetap berusaha dan menikmati setiap proses perjuangan untuk mencapai apa yang menjadi cita-citanya.
      Pelajaran yang bisa diambil:
      Dalam meraih cita-cita, seringkali kita tidak sabar menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan. Kita bernafsu meraih kesuksesan atau kekayaan dengan cepat dan singkat. Akan tetapi, perlu diingat: untuk meraih setiap kesuksesan, kita harus siap bayar harga, siap berjerih payah, dan tidak melanggar hukum moral. Jangan takut pada halangan yang menghadang, siap berjuang dan keluar keringat! Karena sesungguhnya, kenikmatan kesuksesan justru berada pada nilai proses perjuangan yang kita lakukan.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Website templateswww.seodesign.usFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver